Latar Belakang
Kejahatan atau kriminalitas (crime) telah menjadi
bagian yang inherent dalam sejarah kehidupan umat manusia sejak jaman
dahulu hingga saat ini. Menurut sosiolog Emille Durkheim (1933), kejahatan itu
normal ada di semua masyarakat dan hampir tidak mungkin menghilangkan kejahatan
dalam masyarakat. Kejahatan memiliki fungsi dan disfungsi dalam masyarakat.
Kejahatan bersifat disfungsi karena memberikan efek yang merusak terhadap
tatanan sosial, menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan serta menambah beban
ekonomi yang besar bagi masyarakat. Selain bersifat disfungsi, kejahatan juga
dapat memberikan efek positif bagi pembangunan fungsi sosial. Kejahatan dapat
menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok, memunculkan norma-norma atau
aturan yang mampu mengatur masyarakat serta mampu memperkuat penegakkan hukum,
serta menambah kekuatan fisik atau organisasi untuk memberantas kejahatan. Menurut Robert L. O’Block menyatakan bahwa
kejahatan adalah masalah sosial, maka usaha pencegahan kejahatan yang merupakan
usaha yang melibatkan berbagai pihak. Bahwa konsep pencegahan kejahatan (crime
prevention) menurut The National Crime Prevention Institute is defines crime
prevention as the anticipation, recognition and appraisal of a crime risk and
the initiation of some action to remove or reduce it. Definisi pencegahan
kejahatan adalah proses antisipasi, identifikasi dan estimasi resiko akan
terjadinya kejahatan dan melakukan inisiasi atau sejumlah tindakan untuk
menghilangkan atau mengurangi kejahatan. Sedangkan
menurut Venstermark dan Blauvelt mempunyai definisi lain tentang konsep
pencegahan kejahatan yaitu crime prevention means, practically reducing the
probality criminalactivity, yang artinya pencegahan kejahatan berarti
mengurangi kemungkinan atas terjadinya aksi kejahatan. Kemudian Fisher juga
mengemukan pendapatnya yaitu to determind the amount of force a security
officer may use to prevent crime, the court have consider circumstances, the
seriousness of the crime prevented and the possibility of preventing the crime
by other means. (Untuk menentukan jumlah kekuatan petugas pengamanan yang
dapat digunakan untuk mencegah kejahatan, pengelola mempertimbangkan keadaan,
keseriusan mencegah kejahatan dan kemungkinan mencegah kejahatan dengan cara
lain).
Jenis dan bentuk kejahatan selalu berkembang dari waktu ke
waktu seiring dengan dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Pola dan
modus kejahatan juga kian berkembang sebagai dampak kemajuan teknologi.
Kompleksitas gangguan keamanan saat ini tidak lagi bersifat konvensional, namun
telah berkembang dalam bentuk-bentuk kejahatan lintas negara (transnational
crimes), seperti pembajakan (piracy), kejahatan pencucian uang (money
laundering), perdagangan gelap narkotika dan senjata (illicit drugs and
arm), perdagangan manusia (trafficking-in persons), penyelundupan
barang (smuggling), kejahatan mayantara (cyber crime), illegal
logging, illegal mining, illegal fishing hingga berkembangnya jaringan
terorisme internasional.
Dampak dinamika perkembangan lingkungan strategik (lingstra)
dewasa ini, ragam pola dan bentuk kejahatan terus mengalami perkembangan yang
luar biasa. Kondisi ini tentunya berimplikasi terhadap meningkatnya beban tugas
dan tanggung jawab Polri sebagai penyelenggara negara di bidang keamanan dalam
negeri (kamdagri). Untuk itu, Polri membagi kejahatan ke dalam 4 (empat)
golongan / jenis yaitu kejahatan konvensional, seperti kejahatan
jalanan, premanisme, banditisme, perjudian dll; kejahatan transnasional,
yaitu : terorisme, illicit drugs trafficking, trafficking in persons,
money loundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms
smuggling, cyber crime dan international economic crime; kejahatan
terhadap kekayaan negara seperti korupsi, illegal logging, illegal
fishing, illegal mining, penyelundupan barang, penggelapan pajak,
penyelundupan BBM; dan Kejahatan yang berimplikasi kontijensi adalah :
SARA, separatisme, konflik horizontal dan vertikal, unjuk rasa anarkis, dan
lain-lain (Renstra Polri 2010-2014).
Berdasarkan data Kepolisian RI, selama tahun 2012 tindak
pidana yang tercatat dari jajaran Mabes Polri mencapai 309.096 kasus. Data ini
mengalami penurunan sekitar 16,54 persen dibandingkan tahun 2011 atau penurunan
sebesar 51.153 kasus. Jumlah kasus yang dapat diselesaikan sebanyak 164.205
kasus atau mengalami penurunan dibanding 2011 sebanyak 192.950 kasus.Untuk
kasus pidana konvensional seperti pencurian dengan pemberatan, serta pencurian
dengan kekerasan sebanyak 274.180 kasus dan yang berhasil diselesaikan sebanyak
136.966 kasus atau menurun 1,5% (2.211 kasus) dibanding tahun 2011 yang
mencapai 139.177 kasus.Tingkat kriminalitas Ibu Kota DKI
Jakarta juga mengalami penurunan, Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan bahwa
jumlah kasus tindak pidana sepanjang 2012 mengalami penurunan sebesar 5,86
persen. Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, pada 2012 terjadi 54.391 kasus
tindak pidana, angka ini menurun dibandingkan 2011 yaitu 57.779 kasus, atau
turun sebanyak 3.388 kasus. Selain itu, prosentase tingkat penyelesaian tindak
pidana mengalami kenaikan, di mana pada tahun 2011 tercatat 56,57 persen dan
meningkat pada 2012 menjadi 59,67 persen.
Meskipun secara kuantitatif kasus kejahatan mengalami
penurunan, namun secara kualitatif kasus-kasus kejahatan cenderung mengalami
perkembangan pola, ragam, bentuk dan modus kejahatan. Kasus-kasus kejahatan
yang ada saat ini ibarat fenomena “puncak gunung es”, dimana kasus-kasus
kejahatan yang terungkap ke publik hanya sebagian kecil saja daripada jumlah
keseluruhan kejahatan yang terjadi selama ini. Banyak kasus-kasus kejahatan
yang tidak dilaporkan ke polisi oleh para korban kejahatan karena berbagai
faktor maupun alasan. Selain itu juga banyak anggota masyarakat yang enggan melaporkan
kasus kejahatan yang ada disekitarnya karena alasan tidak mau terlibat atau
takut terancam oleh para pelaku kejahatan.
Masih terbatasnya kasus-kasus kejahatan yang belum berhasil
diungkap polisi (clearence rate) ditambah banyaknya kasus kejahatan yang
tidak dilaporkan ke polisi serta perkembangan ragam, bentuk dan modus kejahatan
dewasa ini, membuat tugas-tugas kepolisian terasa semakin berat tantangannya.
Oleh karena itu,dalam Rapim Polri yang diselenggarakan 28-31 Januari 2013,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganggap penanganan kamtibmas selama ini
cenderung belum optimal. Untuk itu, Polri harus mengubah strategi penanganan
kejahatan dari pendekatan yang cenderung bersifat represif (penindakan),
menjadi penanganan kejahatan yang lebih memprioritaskan pada pendekatan pre-emtif
dan preventif (pencegahan). Dengan perubahan strategi tersebut, diharapkan
Polri mampu menekan tingkat kejahatan secara bertahap sehingga mampu
menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif untuk mendukung kamdagri.
2. Pencegahan Kejahatan (Crime Prevention)
Kejahatan (crime) merupakan bagian yang inherent
dan selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Emille Durkheim,
kejahatan itu normal ada di semua masyarakat dan hampir tidak mungkin
menghilangkan kejahatan dalam masyarakat. Kejahatan memiliki fungsi dan
disfungsi dalam masyarakat. Kejahatan bersifat disfungsi karena memberikan efek
yang merusak terhadap tatanan sosial, menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan
serta menambah beban ekonomi yang besar bagi masyarakat. Selain bersifat
disfungsi, kejahatan juga dapat memberikan efek positif bagi pembangunan fungsi
sosial. Kejahatan dapat menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok,
memunculkan norma-norma atau aturan yang mampu mengatur masyarakat serta mampu
memperkuat penegakkan hukum, serta menambah kekuatan fisik atau organisasi
untuk memberantas kejahatan (Emille Durkheim, 1933).
Marshall B. Clinar dan J. Abbott dalam Crime and Developing Countries (1973) melihat
gejala peningkatan kejahatan yang berhubungan dengan ketersisihan sekelompok
masyarakat dalam proses industrialisasi sudah muncul sejak awal abad 19,
terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini pulalah yang belakangan ini
menjadi salah satu agenda kecemasan yang penting dalam masyarakat. Krisis ekonomi
berkepanjangan selalu berujung pada makin bertumpuknya anggota masyarakat
mendekati, bahkan hingga ke bawah garis kemiskinan. Lihat saja angka-angka
berikut ini. Dalam keterangan pers akhir tahunnya, Kapolri menyebut bahwa
setahun terakhir crime rate tumbuh + 10%, dengan jumlah nominal 157.180
tindak kejahatan. Itu artinya, kurang lebih setiap 3 menit 20 detik sekali
terjadi sebuah kejahatan.
Untuk memahami konsep dari pencegahan kejahatan, kita tidak
boleh terjebak pada makna kejahatannya, melainkan pada kata pencegahan. Freeman
(1992) mencoba mengupas konsep dari pencegahan (prevention) dengan
memecah katanya menjadi dua bagian, yaitu prediksi (prediction) dan
intervensi (intervention). Hal ini dapat dikatakan bahwa untuk mencegah
terjadinya sesuatu tindak kejahatan, yang pertama sekali harus dilakukan adalah
memprediksi kemungkinan dari tempat dan waktu terjadinya, dan kemudian
menerapkan intervensi yang tepat pada titik perkiraannya (Daniel Gilling, 1997:
2).
Pada dasarnya, pencegahan kejahatan tidak memiliki definisi
baku, namun inti dari pencegahan kejahatan adalah untuk menghilangkan atau
mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Seperti Ekblom (2005:28) menyatakan
bahwa pencegahan kejahatan sebagai suatu intervensi dalam penyebab peristiwa
pidana dan secara teratur untuk mengurangi risiko terjadinya dan/atau
keseriusan potensi dari konsekuensi kejahatan itu. Definisi ini dialamatkan
pada kejahatan dan dampaknya terhadap baik individu maupun masyarakat.
Sedangkan Steven P. Lab memiliki definisi yang sedikit
berbeda, yaitu pencegahan kejahatan sebagai suatu upaya yang memerlukan
tindakan apapun yang dirancang untuk mengurangi tingkat sebenarnya dari
kejahatan dan/atau hal-hal yang dapat dianggap sebagai kejahatan. (Steven P.
Lab, 2010: 26). Menurut National Crime Prevention Institute (NCPI),
pencegahan kejahatan melalui pengurangan kesempatan kejahatan dapat
didefinisikan sebagai suatu antisipasi, pengakuan, dan penilaian terhadap
resiko kejahatan, dan penginisiasian beberapa tindakan untuk menghilangkan atau
mengurangi kejahatan itu, yang dilakukan dengan pendekatan praktis dan biaya
efektif untuk pengurangan dan penahanan kegiatan kriminal (NCPI, 2001: xv).
Sesuai dengan perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang
dikenal dalam strategi pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah
pendekatan secara sosial (social crime prevention), pendekatan
situasional (situtational crime prevention), dan pencegahan kejahatan
berdasarkan komunitas/masyarakat (community based crime prevention).
Menurut M Kemal Darmawan dalam bukunya yang berjudul Strategi
Kepolisian Dalam Pencegahan Kejahatan :
- Pre-emtif adalah kebijakan yang melihat akar masalah utama penyebab terjadinya kejahatan melalui pendekatan sosial, pendekatan situasional dan pendekatan kemasyarakatan untuk menghilangkan unsur Potensi Gangguan (Faktor Korelatif Kriminogen).
- Preventif sebagai upaya pencegahan atas timbulnya Ambang Gangguan (police hazard), agar tidak berlanjut menjadi gangguan nyata / Ancaman Faktual (crime).
- Represif sebagai upaya penegakan hukum terhadap Gangguan Nyata / Ancaman Faktual berupa penindakan/pemberantasan/ penumpasan sesudah kejahatan terjadi atau pelanggaran hukum , yang bertujuan untuk memberikan contoh (Social Learning) dan menimbulkan Efek Deterence agar dapat mengantisipasi para pelaku melakukan / mengulangi perbuatannya.
3. Kondisi Umum Kriminalitas di Indonesia
Kuantitas dan kualitas kejahatan di Indonesia dari tahun ke
tahun kian meningkat dan berkembang. Berdasarkan data Kepolisian RI, selama
tahun 2012 tindak pidana yang tercatat dari jajaran Mabes Polri mencapai 309.096
kasus. Data ini mengalami penurunan sekitar 16,54 persen dibandingkan tahun
2011 atau penurunan sebesar 51.153 kasus. Jumlah kasus yang dapat diselesaikan
sebanyak 164.205 kasus atau mengalami penurunan dibanding 2011 sebanyak 192.950
kasus.Untuk kasus pidana konvensional seperti pencurian dengan pemberatan,
serta pencurian dengan kekerasan sebanyak 274.180 kasus dan yang berhasil
diselesaikan hanya 136.966 kasus atau menurun 1,5% (2.211 kasus) dibanding
tahun 2011 yang mencapai 139.177 kasus. Selama 2012 tindak pidana terjadi setiap 1
(satu) menit 42 detik atau terjadi peningkatan waktu sebanyak 15 detik
dibandingkan 2011, di mana kejahatan terjadi setiap satu menit 27 detik.Jika
dihitung dengan jumlah rakyat Indonesia, risiko penduduk terkena tindak pidana
tahun ini terjadi setiap 2 menit 4 detik per orang. Sedangkan pada 2011 setiap
1 menit 44 detik per orang. Artinya ada kenaikan waktu 20 detik per orang.
Sedangkan jumlah kejahatan transnasional yang ditangani
Polri mengalami peningkatan. Penyelundupan narkotika dari luar negeri ke
Indonesia merupakan kejahatan transnasional yang paling menonjol. Jenis
kejahatan lain adalah terorisme, trafficking, kejahatan dunia maya (cyber
crime), dan penyelundupan manusia. Sepanjang 2012, Mabes Polri menangani
21.457 kasus transnasional. Angka tersebut naik sekitar 24,78 %dari tahun
sebelumnya yang berjumlah 16.138 kasus. Dari total 21.457 kasus kejahatan
transnasional (2012), Polri baru merampungkan 16.884 kasus,sementara sisa tahun
sebelumnya sebanyak 4.573 kasus masih menjadi pekerjaan rumah bagi Polri untuk
dituntaskan pada 2013 ini.
Tingkat kriminalitas Ibu Kota DKI Jakarta juga mengalami
penurunan. Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan bahwa jumlah kasus tindak
pidana sepanjang 2012 mengalami penurunan sebesar 5,86 persen.Berdasarkan
catatan Polda Metro Jaya, pada 2012 terjadi 54.391 kasus tindak pidana, angka
ini menurun dibandingkan 2011 yaitu 57.779 kasus, atau turun sebanyak 3.388
kasus. Selain itu, prosentase tingkat penyelesaian tindak pidana mengalami
kenaikan, di mana pada tahun 2011 tercatat 56,57 persen dan meningkat pada 2012
menjadi 59,67 persen.
Pada tahun 2012 terdapat 11 jenis kasus kejahatan
konvensional yang menonjol, seperti pencurian dengan kekerasan, pencurian
dengan pemberatan, penganiayaan berat, pembunuhan, kebakaran, judi, narkoba dan
pemerkosaan.Kasus-kasus kejahatan tersebut mengalami penurunan dari 22.518
kasus pada tahun 2011 menjadi 20.855 kasus pada 2012.Pencurian dengan kekerasan
mencapai 1.094 kasus, pembunuhan (69 kasus), kebakaran (707 kasus), pemerasan
(495 kasus), narkotika (4.836 kasus), kenakalan remaja (41 kasus), pencurian
dengan pemberatan (5.862 kasus), pencurian kendaraan bermotor (5.210 kasus),
judi (506 kasus) dan pemerkosaan (55 kasus).
4. Pencegahan Kejahatan oleh Polri
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Polri 2010-2014 disebutkan
bahwa kebijakan pencegahan kejahatan diarahkan pada deteksi dini melalui
program pemolisian masyarakat (Polmas). Tujuan penerapan Polmas adalah
terwujudnya kerjasama polisi dan masyarakat lokal (komunitas) untuk
menanggulangi kejahatan dan ketidak-tertiban sosial dalam rangka menciptakan
ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Menanggulangi kejahatan
dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya
tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu
sendiri.
Untuk memungkinkan terbangunnya kerjasama yang menjadi
tujuan penerapan Polmas sebagaimana telah diuraikan di atas, maka sasaran yang
harus dicapai adalah : pertama, membangun Polri yang dapat dipercaya oleh warga
setempat ; dan kedua, membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri
termasuk dengan pemerintah daerah dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan
dan ketertiban serta menciptakan ketenteraman warga setempat. Polri yang dapat
dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap personel Polri baik dalam
kehidupan pribadi sebagai bagian dari komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas
mereka, yang menyadari bahwa warga komunitas adalah stakeholders kepada siapa
mereka dituntut untuk menyajikan layanan kepolisian sebagaimana mestinya.
Sedangkan komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan
kehidupan bersama warga yang walaupun dengan latar belakang kepentingan yang
berbeda, memahami dan menyadari bahwa kepentingan penciptaan situasi keamanan
dan ketertiban umum merupakan tanggungjawab bersama antar warga, antara warga
dengan polisi. Harapan ke depan melalui Polmas ini, kemitraan, sinergitas Polri
– Masyarakat – Pemerintah dapat terbangun dan bermanfaat bagi masyarakat.
Melalui Polmas potensi-potensi gangguan keamanan dan konflik-konflik sosial
secara dini dapat di ketahui (early detection) dan sebagai peringatan
dini (early warning) untuk segera diambil langkah awal pelayanannya
(aksi dini), agar tidak menjadi gangguan nyata serta menjadi meluas.
Untuk meningkatkan kinerja
pencegahan kejahatan dalam rangka penyelenggaraan keamanan, arah kebijakan dan
strategi yang dikembangkan Polri antara lain adalah :
- Pelaksanaan Polmas akan menjangkau semua titik sebaran pelayanan dengan kualitas pelayanan prima.
- Memperkuat Polsek sebagai unit pelayan terdepan.
- Melembagakan Polmas di seluruh desa dan komunitas dalam mendukung pencagahan kejahatan.
- Membangun citra Polisi pelayan masyarakat yang tegas dan humanis .
- Mendorong terbangunnya kemampuan keamanan swakarsa yangbesar dalam komunitas;
- Membangun kemampuan manajemen Kepolisian dalam rangka meningkatkan internal service yang efektif, efisien dan akuntabel;
- Membangun kemampuan leadership Kepolisian di semua strata melalui merrit system berlandaskan paradigma pelayanan untuk mewujudkan public trust dan internal trust dalam kinerja Kepolisian;
- Mewujudkan sistem penghargaan terhadap prestasi kinerja anggota Polisi dan komponen keamanan swakarsa;
- Membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang objektif dan edukatif dalam rangka mewujudkan manajemen Kepolisian sebagai sub sistem dari good governance dan clean goverment.
Pelaksanaan tugas secara preemtif dan preventif yang
didukung dengan sumberdaya yang optimal diharapkan dapat mencegah, menghambat
dan menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang sedang berupaya atau sedang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Selain itu juga untuk
melindungi masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan
yang dapat menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda, sehingga akan
terciptaknya rasa aman bagi masyarakat. Kehadiran aparat kepolisian diberbagai
tempat sangat dibutuhkan untuk mencegah munculnya gangguan kamtibmas. Respon
cepat yang diberikan aparat kepolisian atas berbagai laporan/ pengaduan masyarakat
dapat meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat atas kinerja pelayanan
Polri. Meningkatnya kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri selanjutnya akan
mendorong berkembangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam memelihara
kamtibmas.
Keberhasilan pelaksanaan pencegahan kejahatan akan
memberikan dampak meningkatnya kinerja pelayanan kamtibmas Polri secara
nasional. Keberhasilan pencegahan kejahatan selanjutnya akan memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi tercapainya tujuan Polri. Keberhasilan ini
juga akan ditandai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dan pihak-pihak
terkait (stakeholders) dalam pelaksanaan tugas-tugas Polri, sehingga
akan terbangun kemitraan Polri dengan berbagai pihak (partnership building).
Keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak merupakan
manifestasi dari keberhasilan pelaksanaan Renstra Polri 2010-2014 dan Grand
Strategy Polri. Dengan terwujudnya kinerja pencegahan kejahatan oleh Polri,
maka diharapkan dapat memelihara kamtibmas, sehingga diharapkan juga memberikan
kontribusi terhadap keamanan dalam negeri.
5. Kerjasama Pencegahan Kejahatan
a. Dengan TNI
Kondisi gangguan Kamtibmas dan Kamdagri didaerah dikaitkan
dengan keterbatasan dari Kesatuan, mengharuskan untuk meminta bantuan baik dari
kesatuan atas maupun kesatuan samping yaitu unsur TNI. Namun dalam
pelaksanaannya masih belum optimal dikarenakan masih terkendala oleh hal
sebagai berikut :
1) Belum adanya
SOP bersama dalam langkah pencegahan kejahatan .
2) Komunikasi
tersumbat antar aparat TNI dengan Polri; lemahnya komunikasi antara aparat
tersebut menyebabkan lemahnya pencegahan kejahatan.
b. Dengan Pemda
Kerjasama dengan Pemda belum dirasakan optimal hal tersebut
dikarenakan belum Pemda belum sepenuhnya dapat memberikan dukungan anggaran
yang merupakan salah satu unsur utama dalam pencegahan kejahatan / menyangkut
masalah kamtibmas. Karena kebanyakan pejabat Pemda memiliki pemahaman
bahwa masalah Kamtibmas adalah urusan kepolisian. Kemudian Polri belum
sepenuhnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan terkait dengan pemeliharaan
kamtibmas.
c. Dengan Masyarakat
Untuk melihat bagaimana kondisi kerjasama dengan masyarakat
dalam pencegahan kejahatan, sebagai contoh dapat dilihat dari data Pokdar
(Kelompok Sadar) Kamtibmas di Polres Metro Jakarta Barat yang masih aktif yaitu
2.960 orang, sedangkan di Polres Bogor data Pokdar Kamtibmas yang masih aktif
150 orang. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :
1) Melaporkan
situasi Kamtibmas di wilayah masing-masing baik rutin maupun insidentil.
2) Bersama anggota
Bhabinkamtibmas mengidentifikasi masalah yang ada dilingkungan masing-masing.
3) Menganalisa dan
melakukan langkah-langkah pemecahan
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk maka di Polres
Metro Jakarta Barat hanya 0,10% dari jumlah penduduk 2,8 juta dan di Polres
Bogor hanya 0,003% saja dari jumlah penduduk sebanyak 4,4 juta. Dengan melihat
jumlah Pokdar tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kerjasama yang
dilakukan dengan masyarakat masih belum optimal, hal tersebut dikarenakan
minimnya partisipasi masyarakat untuk tergabung kedalam Pokdar Kamtibmas.
6. Tolok Ukur Keberhasilan Pencegahan Kejahatan
Keberhasilan dalam pencegahan kejahatan yang dilaksanakan
oleh Polri akan ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :
a. Minimnya Tingkat Kriminalitas dan Gangguan Kamtibmas
Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri akan
ditandai dengan menurunnya kasus-kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas
ditengah masyarakat. Kondisi ini akan ditandai dengan menurun atau minimnya
angka kriminalitas yang tercatat di kantor kepolisian setempat. Hal ini juga
menandakan adanya peningkatan kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk
melaporkan berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas kepada aparat
kepolisian setempat.
b. Minimnya Keluhan Masyarakat
Indikator keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri
juga ditandai dengan semakin menurun atau minimnya tingkat keluhan masyarakat terhadap
pelayanan kamtibmas Polri. Kondisi ini ditandai dengan sedikit atau tidak
adanya anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan atas berbagai pelayanan
kamtibmas yang diberikan Polri. Hal ini dapat diketahui melalui survey
pelayanan publik Polri, laporan yang diterima Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas), Komisi Ombudsman atau berbagai informasi yang ada di media massa.
c. Meningkatnya Kepuasan Masyarakat
Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri juga
ditandai dengan meningkatnya kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri.
Meningkatnya kepuasan masyarakat tersebut dapat diketahui dari meningkatnya
indeks kepuasan masyarakat dari hasil survey pelayanan Polri. Meningkatnya
kepuasan masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya dukungan masyarakat
atas Polri dan minimnya tingkat keluhan masyarakat atas kinerja pelayanan
Polri.
d. Meningkatnya Partisipasi Masyarakat
Menurun atau minimnya tingkat kejahatan dan gangguan
kamtibmas juga menunjukkan bahwa masyarakan ikut berperan serta dalam memelihara
situasi kamtibmas melalui berbagai laporan atau pengaduan atas berbagai kasus
kejahatan dan gangguan kamtibmas. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat ikut
berpartisipasi dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan dengan senantiasa
memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas) dilingkungan
sosialnya. Meningkatnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam harkamtibmas
juga menunjukkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat atas kinerja
pelayanan Polri dan keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan
masyarakat dan stakeholders.
7. Kebijakan dan Strategi Pencegahan Kejahatan
Salah satu prasarat berjalannya proses pembangunan nasional
adalah terpeliharanya situasi keamanan dalam negeri (kamdagri) yang kondusif. Untuk
terselenggaranya pembangunan nasional tersebut, Polri sebagai alat negara
dibidang keamanan memiliki peran dan tanggungjawab memelihara kamdagri. Hal ini
sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 5, “Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.” Dalam rangka pelaksanaan tugas dibidang keamanan
dalam negeri tersebut, selain menggunakan pendekatan represif (penindakan),
Polri juga harus menekankan pada pendekatan preventif dan pre-emtif
(pencegahan) sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 14 Ayat (1), yakni membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan terhadap bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Salah satu bentuk pendekatan pre-emtif dalam
pencegahan kejahatan (crime prevention) dilakukan melalui pola kemitraan
Polri dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait (stakeholders). Kemitraan
Polri dengan masyarakat dan stakeholders dibutuhkan karena masyarakat
setempat yang paling mengetahui dan merasakan berbagai persoalan kamtibmas
dilingkungannya. Untuk itu, perlu adanya sinergi antara Polri dengan masyarakat
dan stakeholders dalam memecahkan akar persoalan kejahatan. Keberhasilan
sinergi Polri dengan masyarakat dan stakeholders dalam memecahkan
persoalan kamtibmas akan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman masyarakat
dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, sehingga proses pembangunan nasional
dapat terselenggara dengan baik dan lancar.
a. Kebijakan
- Memperkuat Polsek sebagai ujung tombak pemeliharaan kamtibmas.
- Melembagakan Polmas di seluruh desa dan komunitas dalam rangka mencegah kejahatan dan gangguan kamtibmas.
- Membangun citra Polisi sebagai mitra masyarakat.
- Membangun kerjasama lintas sektoral/departemen dalam rangka mewujudkan kamdagri.
- Membangun kemampuan manajemen Kepolisian yang profesional dan akuntabel dalam rangka kamdagri.
- Mewujudkan sistem penghargaan terhadap prestasi kinerja anggota Polisi dan komponen keamanan swakarsa.
- Membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang objektif dan edukatif dalam rangka mewujudkan akuntabilitas Polri.
b. Strategi
- Jangka Pendek
- Meningkatkan kualitas SDM Polri melalui kegiatan pendidikan, latihan serta seminar/workshop berkaitan dengan manajemen pencegahan kejahatan dan Polmas;
- Secara bertahap meningkatkan jumlah personil Polmas di tingkat Polsek yang akan ditugaskan untuk membangun kemitraan Polri dengan masyarakat;
- Membangun forum kemitraan Polri dengan masyarakat, untuk merumuskan program pencegahan kejahatan dan harkamtibmas;
- Melembagakan Polmas di seluruh desa dan komunitas dalam rangka pencegahankejahatan dan harkamtibmas;
- Membangun jaringan informasi personal (contact person) untuk memotong jalur birokrasi dan kecepatan bertindak apabila sewaktu-waktu ada informasi penting terkait kejahatan atau gangguan kamtibmas;
- Membangun komunikasi dan interakasi yang baik dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam rangka pencegahan kejahatan dan harkamtibmas;
- Membangun kerjasama dengan pemda dan DPRD setempat dalam rangka mendapatkan dukungan anggaran pencegahan kejahatan yang bersumber dari APBD.
- Membangun kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pencegahan kejahatan dan harkamtibmas.
- Membangun kerjasama pengawasan kamtibmas dengan media massa, LSM dan ormas.
- Membangun kerjasama dengan instansi terkait untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat.
- Menerapkan rewards and punishment secara konsisten untuk meningkatkan motivasi anggota Polri dalam melaksanakan tugas harkamtibmas.
- Jangka Menengah
- Melanjutkan program jangka pendek yang belum terlaksana atau belum selesai.
- Penyusunan sistem penganggaran berbasis kinerja untuk pemeliharaan kamtibmas di seluruh satker dan satuan wilayah.
- Meningkatkan alokasi anggaran program Polmas guna mendorong terbangunnya kemitraan Polri dengan masyarakat dan stakeholders dalam rangka pencegahan kejahatan.
- Membangun sistem koordinasi antar satker dan satuan kewilayahan dalam upaya pencegahan kejahatan dan gangguan kamtibmas.
- Memperkuat struktur organisasi Polsek sebagai ujung tombak harkamtibmas dengan mengembangkan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) Polmas sebagai sarana pemecahan akar permasalahan sosial dan pencegahan kejahatan.
- Membangun forum-forum kerukunan sosial di seluruh desa atau komunitas, yang menyatukan berbagai keragaman suku, ras, agama dan budaya masyarakat dalam rangka membangun kerjasama dan toleransi antar kelompok masyarakat.
- Mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) di setiap satuan kewilayahan yang mampu mendeteksi setiap potensi kejahatan dan gangguan kamtibmas, sehingga dapat dilakukan antisipasi atau pencegahan.
- Melakukan pemetaan wilayah rentan kejahatan di setiap satuan kewilayahan yang berisi data atau informasi riwayat kejahatan, bentuk-bentuk dan modus kejahatan, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan serta pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut.
- Menyusun pedoman pencegahan kejahatan yang akan menjadi panduan seluruh satuan kewilayahan dalam mengelola potensi kejahatan dan gangguan kamtibmas ditengah masyarakat.
- Membangun mekanisme pengaduan dan pengawasan berbasis teknologi untuk kecepatan merespon setiap pengaduan masyarakat atas berbagai bentuk kejahatan dan gangguan kamtibmas.
- Jangka Panjang
- Melanjutkan program-program jangka menengah yang belum terlaksana atau belum selesai.
- Menginvertarisir dan merevisi kebijakan dan strategi maupun petunjuk-petunjuk operasional pencegahan kejahatan yang masih lemah.
- Meningkatkan partisipasi tokoh masyarakat/adat/agama, LSM, Ormas dan pihak-pihak terkait lainnya dalam rangka pencegahan kejahatan danharkamtibmas;
- Memperluas titik-titik jangkauan pelayanan Polri di lingkungan masyarakat dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan atau gangguan kamtibmas.
- Membangun sistem renumerasi dan pembinaan personil yang dapat memberikan insentif bagi setiap personil Polri yang berkinerja baik dalam menjalankan tugas pokoknya.
- Melanjutkan/ melaksanakan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pendidikan, pelatihan dan teknologi guna mengantisipasi kejahatan dan membangun kerukunan antar kelompok masyarakat.
- Melakukan monitoring dan evaluasi secara komprehensif terhadap kinerja pencegahan kejahatan Polri selama ini guna mengembangkan atau memperbaiki sistem pencegahan kejahatan.
- Memberikan masukan kepada Pemerintah dan DPR terkait dengan berbagai kendala atau permasalahan dalam penerapan kebijakan pencegahan kejahatan.
Sumber :
-
Robert O’Block L.Security and
Crime Prevention.Mosby Company, St Louis, 1981, hal. 1-3.
-
Robert J. Fischer and Gion Green.Introduction
to Security. Elsevier Science USA, Butterworth Heinemann, sixth Ed,1998,
hal. 144.
-
Paparan KapolriJenderal Pol. Timur
Pradopo dalam Laporan Akhir Tahun 2012 di Mabes Polri, Jakarta, 28 Desember
2012.
-
Pernyataan Kapolda Metro Jaya dalam
Keterangan Pers di Main Hall Polda Metro Jaya, 27 Desember 2012.
-
Paparan Kapolri Jenderal Pol. Timur
Pradopo dalam Laporan Akhir Tahun 2012 di Mabes Polri, Jakarta, 28 Desember
2012.
-
Pernyataan Kapolda Metro Jaya dalam
Keterangan Pers di Main Hall Polda Metro Jaya, 27 Desember 2012.
-
TribunNews.com, Catatan Akhir Tahun
2012 : Inilah Jumlah Kasus Kriminal di Ibukota Jakarta.
-
http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/113218/Inilah-Jumlah-Kasus-Kriminal-di-Ibukota-Jakarta
-
https://polmas.wordpress.com/2014/10/17/strategi-pencegahan-kejahatan-dalam-rangka-harkamtibmas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar